MEDAN – Seorang pria bernama Kistan Sitorus, warga Jalan Gaharu Gang Pelanggaran No. 44 Kecamatan Durian, Medan Timur Kota Medan, merasa menjadi korban mafia tanah yang melibatkan banyak pihak termasuk BPN Kabupaten Toba.
Dua lokasi tanah miliknya termasuk rumah di Jalan Gereja Ulu Bius dan Jalan Lumban Gala-Gala Kelurahan Patane III, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba, disertifikatkan atas nama orang lain. Bahkan bangunan rumah juga sudah berdiri.
Kistan kemudian berjuang mempertahankan haknya, dengan mendatangi oknum yang terlibat merampas tanahnya, pejabat kelurahan, camat, Polres Toba, Poldasu dan BPN Toba.
Namun mulai tahun 2016, mulainya kasus ini terungkap, masalah tanah miliknya belum ada kejelasan. Pejabat kelurahan Patane III malah seakan-akan mempermainkannya.
Akhirnya, Kistan Sitorus menyurati Presiden Jokowi dengan harapan, Presiden melalui jajarannya membuka kembali kasus ini, untuk memperjelas bagaimana muncul sertifikat tanah atas nama oranglain di atas tanah miliknya.
Dalam surat kepada Presiden, Kistan menjelaskan secara kronologi serta bukti-bukti kepemilikannya atas tanah yang berada di Jalan Gereja Ulu Bius dengan ukuran 4 M X 100 M dan Jalan Lumban Gala-Gala Kelurahan Patane III, Kecamatan Porsea, dengan ukuran 13,5 M X 100 M.
Saat ini tanah tersebut tercatat atas nama Kores Sirait No Sertifikat Hak Milik 393 dan atas nama Parulian Manurung Sertifikat Hak Milik 271.
Pria yang sehari-hari sebagai tukang becak mesin di Medan ini menyampaikan, sekitar tahun 2004 seorang bernama Kores Sirait mendatangi rumahnya di Medan tepatnya di Jalan Gaharu Gang Pelanggaran. Kores saat itu bersama istrinya Boru Situmorang, berkeluh kesah soal kondisi ekonomi.
Karena merasa kasihan, Kistan menyarankan Kores untuk kembali ke Porsea menempati rumahnya di Lumban Sitorus Parparean II Huta Gurgur Porsea Kabupaten Toba dan menanami sawahnya.
Sampai tahun 2014, Kores selalu mengantarkan uang sewa hasil sawah yang dikelolanya ke rumah Kistan di Medan.
Namun, tahun 2015 Kores tidak lagi datang dan memberi kabar. Sehingga tahun 2016 Kistan pulang ke Porsea untuk memastikan kabar Kores.
Namun semula dirinya tidak bertemu Kores, tetapi mendapat informasi bahwa sawahnya sudah digadaikan kepada orang lain, dan ada bangunan rumah.
Kistan juga mendapat informasi bahwa kedua lembar tanahnya sudah disertifikatkan, bukan atas namanya. Bahkan tanah tersebut sudah dijual Kores kepada marga Manurung.
Mendapati kenyataan itu, Kistan kemudian melapor ke Direskrimum Poldasu. Kemudian berlanjut mediasi di Kantor Camat Porsea dengan menghadirkan Lurah Patane III Tahun 2007 Manna Sirait.
Kistan menyampaikan keberatan dan mengajukan pemblokiran sertifikat atas nama orang lain di atas tanahnya ke BPN Toba.
Pada awalnya, menurut penjelaskan Kistan, Kores mengaku salah dan akan mengembalikan tanah berikut sertifikat yang sudah atas namanya.
Dengan catatan masalah itu tidak dibawa ke ranah hukum. Namun Kores tidak menepati janjinya.
Hingga tahun 2018, Kistan kembali mendatangi Lurah Patane III yang pada saat itu ibu lurah atas nama Rosta Munthe.
Menurut Rosta, sertifikat itu tahun 2016 saat itu menjabat lurah yang bernama M. Sirait. Anehnya M. Sirait membantah bahwa dirinya mengeluarkan sertifikat itu. Karena tidak ada titik terang, kejadian itu kemudian dilaporkan ke Polres Toba.
Kistan kemudian memutuskan menyurati Presiden Jokowi dengan harapan, tidak ada lagi korban-korban mafia tanah akibat persekongkolan oknum-oknum di Porsea, Kabupaten Toba.