Arahindonesia.com | Langkat – Puluhan perwakilan masyarakat adat Rakyat Penunggu Kampung Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, menyambangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Langkat, Rabu (17/07/2025). Mereka mempertanyakan aktivitas pengukuran lahan oleh pihak BPN pada 10 Juli lalu di atas tanah yang mereka klaim sebagai wilayah adat.
Audiensi ini dihadiri pengurus masyarakat adat yang tergabung dalam dua organisasi, yakni Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kampung Secanggang.
Ketua Masyarakat Adat Kampung Secanggang, Ansyaruddin, menyampaikan bahwa lahan seluas lebih dari 300 hektar telah dikelola secara turun-temurun oleh sekitar 600 kepala keluarga sejak tahun 1979.
“Tanah adat ini sudah kami kelola sejak 1979, bahkan sudah ada tanda tangan prasasti dari Wakil Gubernur Sumut saat itu, H. Gatot Pujo Nugroho, pada tahun 2009. Panen raya juga pernah dihadiri Kapolda Sumut dan Ibu Bupati Langkat, April lalu. Jadi kami terkejut saat ada aktivitas pengukuran tanpa pemberitahuan,” ujarnya.
Menurut Ansyaruddin, kehadiran BPN tanpa koordinasi bisa memicu konflik horizontal. Ia menekankan pentingnya penghormatan terhadap hukum dan aturan adat.
Menanggapi hal ini, Kepala Seksi BPN Langkat, Edi, menjelaskan bahwa tim yang turun ke lapangan bukan dalam rangka pengukuran, melainkan tahapan awal untuk pembaruan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN II.
“Yang dilakukan tim adalah pengumpulan data awal, bukan pengukuran. Itu bagian dari proses pembaruan HGU yang diajukan PTPN II. Tim ini dibentuk oleh Kanwil BPN Sumut dan melibatkan unsur pemerintah desa, kecamatan, kabupaten, dan dinas terkait,” terang Edi.
Edi juga menambahkan bahwa BPN tidak memiliki wewenang untuk menolak permohonan pembaruan HGU dari PTPN II, selama permohonan itu sah secara administratif.
“Jika Bapak/Ibu masyarakat adat meyakini tanah tersebut merupakan wilayah adat, maka jalur yang tepat adalah gugatan hukum. Putusan pengadilan adalah dasar legal yang diakui pemerintah,” jelasnya.
Namun, Ansyaruddin membantah argumen tersebut. Ia menyebut pihaknya sudah pernah menempuh jalur hukum hingga ke Mahkamah Agung.
“Kami sudah pernah menggugat ke pengadilan, bahkan sampai ke MA dengan putusan 1734. Tapi semua itu butuh biaya besar. Realitanya, yang tak punya uang sulit menang di pengadilan,” ujarnya.
Ansyaruddin menekankan bahwa BPN tidak bisa serta-merta memproses HGU di atas tanah yang masih dalam sengketa atau tidak clear and clean.
“BPN adalah leading sector dalam urusan pertanahan. Kalau objeknya masih konflik, apa bisa diproses izin HGU-nya? Kami ini masyarakat adat, diatur dalam UUD 1945 pasal 18B ayat (2). Negara wajib mengakui dan menghormati keberadaan kami,” tegasnya.
Ia juga menyebut keberadaan tanah adat mereka tercatat dalam dokumen tata ruang PTPN II dan diakui oleh pemerintah desa hingga kecamatan.
Audiensi berlangsung dengan lancar, meskipun belum menghasilkan keputusan final. Masyarakat adat tetap meminta agar proses pembaruan HGU ditangguhkan sampai ada kejelasan status hukum atas wilayah yang disengketakan. (YP/Rel)